{1} Al-Fatihah / الفاتحة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | آل عمران / Ali ‘Imran {3} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 177.
۞ لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ ﴿١٧٧﴾
laisal-birra an tuwallụ wujụhakum qibalal-masyriqi wal-magribi wa lākinnal-birra man āmana billāhi wal-yaumil-ākhiri wal-malā`ikati wal-kitābi wan-nabiyyīn, wa ātal-māla ‘alā ḥubbihī żawil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīna wabnas-sabīli was-sā`ilīna wa fir-riqāb, wa aqāmaṣ-ṣalāta wa ātaz-zakāh, wal-mụfụna bi’ahdihim iżā ‘āhadụ, waṣ-ṣābirīna fil-ba`sā`i waḍ-ḍarrā`i wa ḥīnal-ba`s, ulā`ikallażīna ṣadaqụ, wa ulā`ika humul-muttaqụn
QS. Al-Baqarah [2] : 177
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Kebaikan di sisi Allah bukan dengan menghadap dalam shalat ke timur dan ke barat, bila hal itu bukan atas dasar perintah dari Allah dan syariat-Nya. Akan tetapi kebaikan bahkan seluruh kebaikan adalah beriman keapada Allah dan mempercayai-Nya sebagai sesembahan yang sah semata tiada sekutu bagi-Nya, beriman kepada hari kebangkitan dan pembalasan, para malaikat seluruhnya, kitab-kitab yang diturunkan semuanya, beriman kepada seluruh nabi-nabi tanpa membedakan. Dia juga memberikan hartanya secara suka rela sekalipun sangat memerlukannya kepada kerabat, anak-anak yatim yang membutuhkan, di mana bapak mereka wafat saat mereka belum mencapai usia baligh, orang-orang miskin yang tidak mempunyai apa yang bisa menutup hajat kebutuhan mereka, musafir-musafir yang membutuhkan, yang jauh dari keluarga dan negeri mereka, serta orang-orang yang meminta-minta yang terpaksa melakukan karena terdesak oleh kebutuhan. Dia juga berinfak demi membebaskan budak dan tawanan perang, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang wajib, orang-orang yang memenuhi janji-janji mereka, orang-orang yang sabar dalam keadaan miskin, sakit dan dalam keadaan peperangan yang dahsyat. Orang-orang yang memiliki sifat-sifat di atas adalah orang-orang yang benar imannya, mereka adalah orang-orang yang menjaga diri mereka dari azab Allah dengan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya.
Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى setelah memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mulanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan mereka ke arah Ka’bah, maka hal tersebut terasa berat oleh segolongan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian kaum muslim. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa tujuan utama dari hal tersebut tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan patuh, serta menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang telah disyariatkan-Nya.
Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna, dan kebajikan serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke arah timur atau barat, jika bukan karena perintah Allah dan syariatnya. Karena itulah maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian., hingga akhir ayat.
Seperti yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam masalah kurban dan menyembelih hadyu, yaitu firman-Nya:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya. (Al Hajj:37)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kebajikan itu bukanlah kalian melakukan salat tetapi tidak beramal. Hal ini diturunkan ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hijrah dari Mekah ke Madinah, dan diturunkan hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka Allah memerintahkan mereka untuk mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ad-Dahhak serta Muqatil.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii kebajikan.
Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan hakikatnya, yaitu pengalamannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan serta Ar-Rabi’ ibnu Anas.
Mujahid mengatakan, “Kebajikan yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang telah meresap ke dalam hati.”
Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu ialah bila kalian menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.
As-Sauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang beriman kepada Allah., hingga akhir ayat.
Semua yang disebutkan oleh ayat ini merupakan aneka ragam kebajikan.
Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Sauri ini, karena sesungguhnya orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh ayat ini berarti dia telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan Islam secara keseluruhan dan mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh, yaitu iman kepada Allah dan tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat yang merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasul-Nya.
Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri dengan yang paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al-Qur’an yang isinya mencakup semua kitab sebelumnya, berakhir padanya semua kebaikan, serta mengandung semua kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur’an, maka di-na-sakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman kepada semua nabi Allah dari permulaan hingga yang paling akhir, yaitu Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan memberikan harta yang dicintainya.
Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas’ud, Sa’id ibnu Jubair, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahihain dari hadis Abu Hurairah secara marfu’, yaitu:
Sedekah yang paling ulama ialah bila kamu mengeluarkannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh miskin.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Syu’bah dan As-Sauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan memberikan harta yang dicintainya”, yaitu hendaknya kamu memberikannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit, mengharapkan kecukupan dan takut jatuh miskin.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Waki’, dari Al-A’masy, dan Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud secara mauquf dan lebih sahih.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al Insaan:8-9)
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran:92)
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al Hasyr:9)
Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis lain dari cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya daripada yang disebutkan oleh ayat ini (Al Baqarah:177). Demikian itu karena mereka lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukannya, tetapi mereka tetap memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta yang mereka sendiri mencintai dan memerlukannya.
Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum kerabat lelaki yang bersangkutan, mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat adalah orang-orang yang lebih utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan pemberianmu.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, hal ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari kitab-Nya.
Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim ialah mereka yang tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mereka telah tiada, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia di bawah usia balig serta belum mampu mencari mata pencaharian. Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Tiada yatim lagi sesudah usia balig.
Wal masakin, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Untuk itu mereka diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, dan sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak mendapatkan apa yang mencukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui (sebagai orang miskin) hingga mudah diberi sedekah.
Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal yang dapat memulangkannya ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang akan mengadakan perjalanan untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang mencukupinya buat pulang pergi.
Termasuk ke dalam pengertian ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Ibnu Sabil ialah tamu yang menginap di kalangan orang-orang muslim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Abu Ja’far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat dan sedekah. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad:
bahwa telah menceritakan kepada kami Waki’ dan Abdur Rahman, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus’ab ibnu Muhammad, dari Ya’la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya (yakni Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), sekalipun dia datang dengan berkendaraan kuda. (Riwayat Imam Abu Daud)
Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang tidak menemukan apa yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya.
Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di dalam ayat sedekah (zakat), bagian dari surat Al-Bara’ah (surat Taubah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya’bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah binti Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Apakah pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat?” Maka beliau membacakan ayat berikut kepadanya, yaitu firman-Nya:
…dan memberikan harta yang dicintainya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadis berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya’bi, dari Fatimah binti Qais yang telah menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: “Di dalam harta benda terdapat kewajiban selain zakat.” Kemudian beliau membacakan firman-Nya, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikansampai dengan firman-Nyadan (memerdekakan) hamba sahaya”
Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam Turmuzi, tetapi Abu Hamzah (yakni Maimun Al-A’war, salah seorang perawinya) dinilai daif. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, dari Asy-Sya’bi.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, “Wa-aqamas salata,” artinya ‘dan merampungkan semua pekerjaan salat pada waktunya masing-masing’, yakni menyempurnakan rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan perintah syariat yang diridai.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, “Wa-ataz zakata,” artinya ‘dan menunaikan zakat’, tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan jiwa dan membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)
Ucapan Musa a.s. kepada Fir’aun yang disitir oleh firman-Nya:
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?” (An-Nazi’at: 18-19)
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan:
Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (Al Fushilat:6-7)
Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh Sa’id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan. Dengan demikian, berarti hal yang telah disebutkan sebelumnya —yaitu memberikan sebagian harta kepada golongan-golongan yang telah disebutkan— hanyalah dianggap sebagai amal tatawwu’ (sunat), kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang telah disebutkan di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.
Ayat ini semakna dengan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (Ar Ra’du:20)
Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:
Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta, apabila berjanji, ingkar, dan apabila dipercaya, berkhianat.
Di dalam hadis lainnya disebutkan seperti berikut:
Apabila berbicara, berdusta, apabila berjanji, merusak (janjinya), dan apabila bersengketa, berbuat curang.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.
Yang dimaksud dengan ba-sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir, sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan sakit dan kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah ketika peperangan sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
Sesungguhnya lafaz sabirina di-nasab-kan karena mengandung pujian terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran untuk bersikap sabar dalam situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat keras lagi sulit.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya).
Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal perbuatan, maka mereka itulah orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa, karena mereka memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan semua amal ketaatan.
Tafsir Ayat:
Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,” maksudnya, hal itu bukanlah suatu kebajikan yang dimaksudkan dari hamba, sehingga banyaknya pembahasan dan perdebatan tentangnya adalah merupakan usaha yang melelahkan yang tidak menghasilkan kecuali perpecahan dan perselisihan. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Bukanlah orang yang perkasa itu adalah dengan perkelahian, akan tetapi orang yang perkasa itu adalah orang yang mampu menahan dirinya di saat marah,” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6114; dan Muslim, no. 2609: dari Abu Hurairah)
dan hadits-hadits yang semacamnya, وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ “akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,” maksudnya, bahwa Dia adalah Tuhan yang Esa yang memiliki sifat dengan segala sifat kesempurnaan dan terlepas dari segala kekurangan, وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “dan Hari Akhir,” yaitu segala hal yang dikabarkan oleh Allah tentangnya dalam kitabNya, atau apa yang telah dikabarkan oleh RasulNya dari hal-hal yang terjadi setelah kematian, وَالْمَلَائِكَةِ “dan para malaikat,” yang dijelaskan sifat mereka oleh Allah kepada kita dalam kitabNya dan dijelaskan juga oleh RasulNya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَالْكِتَابِ “dan al-Kitab,” yaitu jenis kitab-kitab yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-rasulNya, dan yang paling agung adalah al-Qur`an. Maka ia beriman kepada hal-hal yang dikandung olehnya dari kabar maupun hukum. وَالنَّبِيِّينَ “Dan para Nabi” secara umum, dan khususnya penutup mereka dan paling mulia dari mereka, yaitu Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَآتَى الْمَالَ “dan memberikan harta,” yaitu seluruh harta yang dikumpulkan oleh manusia sedikit maupun banyak, maksudnya ia memberikan harta عَلَى حُبِّهِ “yang dicintainya,” yaitu cinta harta.
Allah جَلَّ جَلالُهُ menjelaskan dengan hal ini bahwa harta itu sangat dicintai oleh jiwa dan sebenarnya seorang hamba tidak mau menge-luarkannya, barangsiapa yang mengeluarkannya padahal ia sangat mencintainya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, maka hal ini adalah sebagai tanda bagi keimanannya, dan di antara memberikan harta yang dicintainya adalah bersedekah saat dia dalam kondisi sehat lagi kikir yang mana ia sangat mengharapkan kekayaan dan takut dari kemiskinan. Demikian juga bila sedekah dikeluarkan ketika dalam kondisi kekurangan, niscaya itu lebih utama, karena dalam kondisi seperti ini, ia lebih suka menyimpannya, ketika ia mencemaskan akan terjadinya kefakiran dan kepapaan. Demikian pula mengeluarkan barang yang paling berharga dari hartanya dan apa yang ia cintai dari hartanya tersebut sebagaimana Allah berfirman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92).
Setiap mereka itu adalah di antara orang-orang yang mem-berikan harta yang ia cintai.
Kemudian Allah menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima infak, yaitu orang-orang yang paling utama untuk diberikan kebajikan dan bakti dari kerabat, yang menyentuh hatimu karena musibah mereka dan membahagiakanmu dengan kebahagiaan mereka, yaitu yang saling menolong dan saling bersekutu. Maka di antara kebajikan yang paling baik dan paling tepat adalah mengadakan kebajikan terhadap karib kerabat, baik dengan harta maupun perkataan menurut kedekatan dan kebutuhan mereka. Dan di antara mereka adalah وَالْيَتَامَى “anak-anak yatim” yang tidak memiliki orang yang mencarikan harta untuk mereka dan tidak memiliki kemampuan yang dapat dijadikan sandaran. Ini adalah di antara rahmat Allah جَلَّ جَلالُهُ terhadap hamba-hambaNya yang menunjukkan bahwasanya Allah جَلَّ جَلالُهُ sangat sayang kepada mereka daripada sayangnya seorang ayah kepada anaknya. Allah telah mewasiatkan kepada hamba-hambaNya, lalu mewajibkan mereka untuk berbuat kebajikan dengan hartanya kepada orang-orang yang kehilangan ayah mereka, agar anak-anak itu seperti anak-anak yang tidak kehilangan kedua orang tuanya, dan karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya, yakni barangsiapa yang menyayangi seorang anak yatim orang lain, niscaya anak yatimnya akan disayangi oleh orang lain.
وَالْمَسَاكِينَ “Dan orang-orang miskin,” yaitu mereka yang dililit kebutuhan dan dihinakan oleh kemiskinan, maka mereka memiliki hak atas orang-orang kaya dalam mencukupi kebutuhan mereka atau meringankannya, sesuai dengan kemampuan dan kelapangan mereka.
وَابْنَ السَّبِيلِ “Dan musafir (yang memerlukan pertolongan),” yaitu orang asing yang kehabisan bekal di luar negerinya sendiri. Allah menganjurkan hamba-hambaNya untuk memberikan kepadanya beberapa harta yang dapat membantunya dalam perjalanannya, karena perjalanan itu merupakan kondisi yang membutuhkan bantuan dan banyaknya pengeluaran. Oleh karena itu, wajiblah atas orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah pada negerinya dengan segala kemakmurannya dan Allah karuniakan nikmatNya kepadanya agar dia juga bersikap rahmat kepada saudaranya yang asing tersebut menurut kadar kemampuannya, walaupun hanya membekalinya sedikit atau memberikannya sebuah alat perjalanan atau sebuah alat yang dapat menghindarkan dirinya dari kesewe-nang-wenangan, dan lain sebagainya.
وَالسَّائِلِينَ “Dan orang-orang yang meminta-minta,” yakni orang-orang yang meminta-minta karena suatu kebutuhan mendesak yang menyebabkan mereka melakukannya, seperti seorang yang diuji dengan denda suatu kejahatan atau beban pajak dari pemerintah, atau dia meminta-minta kepada manusia untuk memajukan kemaslahatan umum seperti masjid, sekolah, jembatan, dan sema-camnya. Maka yang seperti ini memiliki hak walaupun ia adalah orang kaya.
وَفِي الرِّقَابِ “Dan (memerdekakan) hamba sahaya,” termasuk di dalamnya adalah pembebasan budak dan membantunya serta mengusahakan harta untuk seorang budak yang membayar kebebasannya agar ia mampu menunaikan bayaran kepada tuannya, atau menebus tawanan Muslimin dari kaum kafir atau kaum zhalim.
وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ “Dan mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat.” Telah sering diterangkan bahwa Allah جَلَّ جَلالُهُ menyatukan antara Shalat dan Zakat, karena kedua hal itu adalah sebaik-baik ibadah dan pendekatan diri kepada Allah yang paling sempurna karena memuat ibadah hati, tubuh, dan harta. Dan dengan keduanya iman seseorang ditakar dan keyakinan yang ada pada pelaku-nya dapat diukur.
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا “Dan orang-orang yang menepati janjinya bila berjanji.” Janji adalah komitmen terhadap apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau diwajibkan oleh hamba itu sendiri, maka termasuk dalam hal itu adalah seluruh hak-hak Allah, karena Allah telah mewajibkan semuanya atas hamba-hambaNya dan mereka berkomitmen terhadapnya, di mana mereka masuk dalam janji tersebut dan wajib atas mereka untuk menunaikannya, dan juga hak-hak hamba yang telah diwajibkan oleh Allah atas mereka dan hak-hak yang telah diwajibkan oleh seorang hamba sendiri, seperti sumpah dan nadzar atau semacamnya.
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,” yakni, kemiskinan, karena orang yang miskin membutuhkan kesa-baran dalam banyak aspek, dari apa yang didapatkannya berupa kepedihan hati dan tubuh, yang berkesinambungan yang tidak dirasakan oleh selainnya; apabila seorang kaya menikmati apa yang tidak mampu dinikmatinya, ia akan bersedih, dan apabila ia lapar atau keluarganya lapar, ia pun bersedih, apabila ia makan suatu makanan yang tidak sesuai dengan seleranya, ia bersedih, apabila ia tanpa busana atau hampir tanpa busana ia bersedih, apabila ia melihat apa yang ada pada dirinya dan apa yang ia prediksikan pada masa mendatang yang harus dipersiapkan olehnya ia akan bersedih, apabila ia merasa dingin yang tidak mampu ia kendalikan ia bersedih.
Seluruh hal tersebut dan yang semacamnya adalah musibah-musibah yang ia diperintahkan untuk bersabar atasnya, berangan akhirat, mengharap pahala dari Allah terhadapnya, وَالضَّرَّاءِ “dan penderitaan,” yaitu penyakit dalam berbagai macamnya seperti demam, luka, masuk angin, atau sakit pada suatu anggota tubuh hingga gigi, jari jemari, dan yang semacamnya, di mana dibutuhkan untuk bersabar atas semua itu, karena jiwa itu lemah dan tubuh merasakan sakit, dan hal itu adalah suatu yang paling sulit bagi jiwa. Terlebih ketika hal itu terjadi lebih lama, maka diperintahkan untuk bersabar atasnya dengan mengharap pahala dari Allah جَلَّ جَلالُهُ. وَحِينَ الْبَأْسِ “Dan dalam peperangan,” yakni saat berperang menghadapi musuh-musuh yang diperintahkan untuk diperangi, karena ketegaran itu sangatlah sulit sekali bagi jiwa, dan manusia akan mengalami kegoncangan dari pembunuhan, luka, atau tertawan, maka dibutuhkan kesabaran atas semua itu dengan maksud mengharap pahala dari Allah جَلَّ جَلالُهُ yang dariNya-lah pertolongan dan bantuan yang telah dijanjikan didapatkan bagi orang-orang yang bersabar.
أُولَئِكَ “Mereka itulah,” yaitu orang-orang yang memiliki sifat sebagaimana yang telah disebutkan dari keyakinan-keyakinan yang baik, perbuatan yang merupakan pengaruh dari keimanan, bukti nyata dan cahayanya, dan akhlak yang merupakan keindahan dan hakikat kemanusiaan; mereka itulah الَّذِينَ صَدَقُوا “orang-orang yang benar” dalam keimanan mereka, karena perbuatan-perbuatan me-reka membenarkan keimanan mereka, وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ “dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa,” karena mereka meninggalkan hal-hal yang dilarang dan mengerjakan yang diperintahkan, karena perkara-perkara itu meliputi segala unsur-unsur kebaikan, baik secara prediksi maupun yang pasti. Menunaikan janji termasuk menunaikan seluruh ajaran agama, dan karena ibadah-ibadah yang telah ditetapkan oleh nash-nash dalam ayat ini merupakan ibadah yang paling besar, dan barangsiapa yang menunaikannya, niscaya ia akan lebih mampu menunaikan ibadah-ibadah mereka, mereka itulah orang-orang yang baik, benar, dan bertakwa.
Sesungguhnya telah diketahui bahwa apa yang akan diberikan oleh Allah atas ketiga perkara tersebut dari pahala duniawi maupun ukhrawi tidak mungkin dapat dirinci dalam pembahasan ini.
Ayat ini menjelaskan bahwa kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, yaitu salat tanpa dibarengi kekhusyukan dan keikhlasan, karena menghadapkan hal itu bukanlah pekerjaan yang susah. Tetapi kebajikan yang sesungguhnya itu ialah pada hal-hal sebagai berikut. Kebajikan orang yang beriman kepada a) Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun; b) hari akhir yaitu hari pembalasan segala amal perbuatan selama di dunia, sehingga mendorong manusia untuk selalu berbuat baik; c) malaikat-malaikat yang taat menjalankan perintah Allah dan tidak pernah berbuat maksiat sehingga mendorong manusia untuk meneladani ketaatannya; d) kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul; e) dan nabi-nabi yang selalu menyampaikan kebenaran meskipun banyak yang memusuhinya. Kebajikan orang yang memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat yang kurang mampu, anak yatim, karena mereka sudah kehilangan orang tua, sehingga setiap orang beriman patut memberikan kebaikan kepada mereka, orang-orang miskin yang hidupnya serba kekuarangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang-orang yang dalam perjalanan atau musafir yang kehabisan bekal perjalanan, peminta-minta untuk meringankan penderitaan dan kekurangannya, dan untuk memerdekakan hamba sahaya yang timbul akibat praktik perbudakan. Kebajikan orang yang melaksanakan salat dengan khusyuk dan memenuhi syarat dan rukunnya, menunaikan zakat sesuai ketentuan dan tidak menunda-nunda pelaksanaannya, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji dan tidak pernah mengingkarinya, orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan dengan segala kesengsaraan, kepedihan dan berbagai macam kekurangan. Orang yang mempunyai sifat-sifat ini, mereka itulah orang-orang yang benar keimanannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa kepada Allah. Wahai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu melaksanakan kisas, hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia berkenaan dengan orang yang dibunuh apabila keluarga korban tidak memaafkan pembunuh. Ketentuannya adalah orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, yakni keluarga korban, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, yaitu meminta ganti dengan diat (tebusan) secara baik tanpa niat memberatkan, dan pembunuh hendaknya membayar diat kepadanya dengan baik pula dan segera, tidak menunda-nunda dan tidak mengurangi dari jumlah yang sudah disepakati, kecuali jika keluarga pihak terbunuh memaafkan pembunuh dan juga tidak menuntut diat. Ketentuan hukum yang demikian itu, yaitu kebolehan memaafkan pembunuh dan diganti dengan diat atau tebusan, adalah keringanan dan rahmat dari tuhanmu supaya tidak ada pembunuhan yang beruntun dan permusuhan dapat dihentikan dengan adanya pemaafan. Barangsiapa melampaui batas setelah itu dengan berpura-pura memaafkan pembunuh dan menuntut diat, tetapi setelah diat dipenuhi masih tetap melakukan pembunuhan terhadap pembunuh, maka ia telah berbuat zalim dan akan mendapat azab yang sangat pedih kelak di akhirat. Ayat ini mengisyaratkan bahwa pemaafan itu tidak boleh dipaksakan, sekalipun memaafkan lebih bagus daripada menghukum balik dengan hukuman yang setimpal. ‘
Al-Baqarah Ayat 177 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 177, Makna Al-Baqarah Ayat 177, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 177, Al-Baqarah Ayat 177 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 177
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)